Arsip

Arsip Penulis

CorelDraw X4 (Cara Instal CorelDraw X4)

Sebelum Anda melangkah, ada baiknya Anda memiliki Keygen CorelDrawX4. Download http://www.box.net/shared/r4osyxk338

Ikuti langkah-langkah di bawah ini:
1. Jalankan CorelDRAW X4 (Awas! Jangan dulu klik apapun)
2. Buka Keygen yang telah Anda ekstrak. Klik! Serial Number.

3. Setelah Serial Number muncul, copy dan klik! Enter Serial Number di CorelDRAW X4.

4. Paste Serial Number ke dalam box, kemudian klik! Phone Corel.

5. Copy Installation Code dari CorelDraw, paste ke Keygen, kemudian klik! Activation Code.

6. Copy Activation Code dan paste di CorelDRAW X4, klik! Continue.

7. Selesai, dan klik! Finish

8. Selamat. Saatnya Anda menggunakan CorelDRAW Graphic SuiteX4.

Semoga bermanfaat.

Kapitalisme Baru

Nilai-nilai budaya tradisional masyarakat Timur merosot di bawah pengaruh politik korporasi, dengan komersialisasi budaya dan dampak media massa. Masyarakat terbangun dari pesona dengan hiburan televisi untuk menemukan sendiri, dilucuti tradisi, dikendalikan oleh struktur kekuasaan yang menindas dan terikat pada kewajiban kredit mimpi Indonesia mati.

Bagi masyarakat pada umumnya, pengintegrasian dan pengalaman transformatif budaya telah digantikan oleh pengalaman melihat kolektif dan partisipasi dalam tren konsumen. Rakyat Indonesia telah dibanjiri oleh parade tanpa akhir komoditas dan dibuat kacamata televisi yang sibuk dengan cita-cita serta nilai-nilai konsumerisme.

Konsumerisme adalah mitos bahwa individu akan bersyukur dan terintegrasi dengan mengkonsumsi. Masyarakat konsumen fetishistically ideal pengganti pengalaman acculturating kehilangan seni, agama dan keluarga. Konsumen sublimates keinginan untuk pemenuhan budaya dengan manfaat membeli dan memiliki komoditas, dan pengganti dimanipulasi media-undulations di persona publik untuk kelahiran kembali rohani. Dalam mitos konsumerisme, tidak ada kelahiran kembali atau perpanjangan. Dan tidak ada simbol ikonik untuk membangkitkan kebenaran transenden.

Sementara konsumerisme menawarkan tujuan nyata dari memiliki produk, ia tidak pemenuhan mitologi budaya lainnya. Konsumerisme hanya menawarkan kepuasan ego jangka pendek untuk orang-orang yang mampu membayar kemewahan dan frustrasi bagi mereka yang tidak bisa. Ini ada sebagai suatu sistem lengkap dan memadai direkayasa untuk menggantikan nilai-nilai warisan budaya berkurang.

Ego masyarakat Timur membuatnya menjadi salah satu sasaran empuk untuk transisi ke masyarakat konsumen. Seperti iklan menipu dan nihilisme akademik memusnahkan nilai-nilai budaya subyektif menyadari, publik sangat mudah terombang-ambing ke jalan konsumerisme. Di tengah-tengah krisis identitas utama, Indonesia menyadari kurangnya moralitas dan kemanusiaan yang didasarkan pada gambar Media dan kepuasan sementara kepemilikan daripada nilai ontologis dari pengalaman budaya bermakna? Penurunan nilai-nilai budaya bernilai ekonomi telah menghasilkan situasi di ‘kami masyarakat tercerahkan’ di mana ketersediaan produk, karena bertentangan dengan kebutuhan hidup, menjadi pembenaran etis untuk penindasan.

Media massa melanggengkan mitos konsumerisme sebagai prioritas Kapitalisme Baru. Seperti Amerika berdiam dalam rutinitas malam saat menonton televisi, mencari keuntungan perusahaan yang cepat untuk menggantikan bahan godaan kemewahan dan kepuasan konsumen untuk semangat memudar. Media iklan menjual gambar – sebuah cangkang kosong. Perusahaan publik Amerika placates lembek dengan despiriting pastiche. Hanya ada ilusi penipuan. Alih-alih clockworks Swiss terbungkus di tangan diukir kayu keras, konsumen ditawarkan tiruan murah dari papan partikel dialihkan dan teknologi chip komputer. Siapa yang peduli selama itu kelihatan bagus?

Dalam plot ganda untuk mencekik masyarakat, kebijakan perusahaan hanya menganggap diri tertarik eksploitasi pasar konsumen dan sumber daya lingkungan hidup. prioritas perusahaan dan etika bisnis tidak intrinsik kemanusiaan atau ekologis sensitif. Dalam hierarki perusahaan gaji karyawan tidak memiliki insentif dari kapitalis kewirausahaan. Etika kemanusiaan terkait dengan usaha kecil (kewajiban pemilik untuk pelanggan nya) hilang. konsumen tidak lagi dirayu oleh kompetisi usaha kecil. Usaha kecil telah penuh sesak oleh kapitalis perusahaan untuk menjamin persaingan kurang dan keuntungan yang lebih besar.

Big bisnis terlalu sering musuh rakyat. Di balik penjagalan nilai-nilai simbolis oleh media periklanan, mesin pedagang tersenyum karena lipatan hijau. Lebih dari sekadar menjamin keuntungan, konsumerisme adalah Kapitalisme Baru untuk mempertahankan para pembelinya.

Konsumen hanya mulai menyadari kekuatan politik yang mereka menggunakan sebagai kekuatan membeli kolektif. potensi ini telah diuji dalam skala kecil oleh piket serikat dan boikot ekonomi akar rumput. Ini adalah harapan saya bahwa di masa depan, sebagai ban publik kepuasan-kepuasan dangkal dan janji-janji kosong konsumerisme, itu akan berubah menjadi boikot skala besar untuk mengontrol taktik kasar kebijakan perusahaan.

Pada perusahaan (monopoli) kapitalisme konsumen adalah target – dia ditindaklanjuti. Mengontrol commodify kepentingan budaya dan menjualnya kepada publik disapih pada iklan media. Seleksi berkurang, bukan untuk apa yang masyarakat ingin, tapi apa itu akan menerima dengan laba yang lebih besar bagi pemegang saham. Ini termasuk ketersediaan dan berbagai komoditas serta kualitas mereka. pilihan dan kebebasan kita dibatasi oleh kebijakan perusahaan.

Ketika kita menjadi terbiasa dengan kehidupan di sekitar pesawat televisi, bersama berjuang untuk gambar media-diproduksi, kami adalah pilihan yang dibuat untuk kita. Pilihan direduksi menjadi nama merek. Kami mengorbankan diri-pengetahuan untuk konsumerisme. konsumerisme, seperti komunisme dan fasisme, adalah agama sekuler membatasi kebebasan memilih.

Kesadaran diri dan harga diri telah terdistorsi. Kita adalah apa yang kami pakai. Dalam rayuan Kapitalisme Baru terhadap penonton televisi, kepribadian individuating mengidentifikasi dengan fantasi iklan dan cita-cita konsumen. Siapa kami dengan peran dan gambar yang digambarkan dalam media. Kita kehilangan kemampuan kita untuk bertindak secara independen dari pembenaran konsumerisme. Ini merupakan kerugian kualitatif untuk proses individuasi. Ini penghinaan pada nilai-nilai kemanusiaan dengan iklan media massa telah meninggalkan konsumen yang diwujudkan dengan baik tapi kepribadian buruk diindividuasikan.

Sesuatu dalam esensi realitas dianggap telah hilang ke despiritualization dan komersialisasi budaya. Persepsi telah kehilangan kekayaannya. Eksposur yang luas untuk kecurangan dalam media periklanan telah melemahkan pegang kesadaran pada pengetahuan subjektif menjadi atau rasa yang bermakna kebenaran. Sementara kapitalisme telah dikaitkan dengan asal-usul kesadaran, konsumerisme dan kebohongan iklan telah menjadi ancaman potensial terhadap kesadaran.

Adam
24/04/2010

Kategori:Uncategorized

Terjebak paham kapitalis

Selama paham kapitalis masih diyakini oleh republik ini, tentu kemiskinan tidak akan pernah usai. Kejahatan akan terjadi dimana-mana; pembunuhan, perampokan, penipuan, bahkan kejahatan yang lainnya. Tentunya akan lebih mudah bagi mereka (kaum kapitalis) untuk selalu mengatakan uang adalah yang utama. Anehnya, paham kapitalis juga telah meracuni para pemilik media. Para pemilik media tadi berubah beringas menjadi kapitalis media. Siapa sangka pemilik media yang selalu mengatasnamakan UU Pers Indonesia malah justru menjadi biang ketidak adilan bagi wartawannya bahkan mereka cenderung membeli hukum dan militer untuk menjadikan mereka kuat.

Kapitalis media sementara ini memang belum terkalahkan. Namun saya yakin. Kelak para kapitalis media akan runtuh sebab kesalahan dari polah-tingkah mereka buat sendiri. Kapitalis media kini kian merebak di Indonesia. Bahkan mungkin juga di bagian dunia lain. Semenjaka PERS Indonesia di kebiri oleh Harmoko atas perintah Soeharto. Kini setelah fenomena gerakan 1998 pers malah justru keblinger karena tak ada lagi yang mampu memperjuangkan kaum tertindas. Bahkan mereka (para wartawan) terkesan mendukung paham kapitalis yang kini sedang ngetren. Sementara kapitalis media justru senang sebab para wartawan begitu saja dapat dibodohi.

Rencana Gerakan 1 Mei 2010 mendatang saya anggap tak akan mungkin berhasil. Mengapa? Jika benar kawan-kawan Pewarta Indonesia, minimal Sumatera Selatan berani mengambil keputusan yang melawan, tentunya akan membawa perubahan bagi kesejahteraan para Pewarta. Jika para wartawan tidak berani mempunyai sikap yang tegas terhadap kapitalis media, saya rasa untuk menuju ke sejateraan wartawan akan sulit untuk dicapai.

Wartawan Indonesia harus tegar! Jangan loyo! Jangan cengeng! Dan jangan menjadi penakut! Disinilah kita dapat melihat mana wartawan “asli” dan mana wartawan “palsu”. Artinya, mana wartawan “non bodrek” dan mana “wartawan bodrek”. Jika Anda berani, tentulah Anda wartawan sungguhan. Itu pasti.

Jaman manikebu adalah jaman dimana para penulis di buang ke sebuah pulau yang asing dan dapat membuat mereka jauh dari peradapan. Mereka harus berpisah dengan anak-anak dan isterinya, bahkan harus kesulitan dalam menulis kisah sisa hidupnya. Namun tetap berjuang, para penulis yang dianggap manikebu tetap saja dapat menerbitkan tulisannya ke luar penjara. Mungkin pemerintah pada waktu itu dapat menahan mereka secara fisik secara intelektual, pemerintah tak dapat membunuh jiwa idealisnya memperjuangkan kaum lemah.

Begitu juga wartawan Indonesia. Mereka harus berani memberikan sikap tegas terhadap sistem yang terbilang total kapitalis ini. Sekarang tinggal bangsa indonesia yang memilih. Apakah akan hidup seperti sekarang, ataukah ingin berubah menjadi lebih baik? Ingat! kita masih hidup dalam kungkungan sistem kapitalis, waeisan kaum feodal yang kan terus membuat bangsa ini rajin untuk berbuat semena-mena. Tak tanggung-tanggung, terkadang orang miskinpun dapat berlaku semena-mena terhadap orang miskin lainnya. Ironi.

Ketakutan saya adalah; jika benar suatu ketika nanti keadilan dan kebenaran yang nyata tak lagi ada, tak ada satupun wartawan yang menyuarakan hak-hak kaum miskin tertindas. Buktinya, masih banyak wartawan yang pasrah terhadap kapitalis media. Wartawan takut jika sumber penghasilannya diberhentikan. ketakutan para wartawan tentu saja membuat saya gerah. Mengapa menjadi wartawan? Mengapa harus takut dengan kapitalis media? Apakah wartawan Indonesia takut kehilangan pekerjaan di media? Ataukah hanya berpura-pura menjadi wartawan, padahal sebenarnya ingin menjilat sana-sini, menunggu amplop lantas mengharapkan proyek, atau mendukung kinrja para kaum kapitalis agar hidupnya aman tak kekurangan satu apapun?

Adam
24/04/2010

Kategori:Uncategorized

Reformasi Pers Indonesia

Upaya pemberantasan kemiskinan dan pembangunan negara Dunia Ketiga tidak akan berhasil jika struktur hubungan antara negara-negara maju (Barat) dan negara-negara miskin tidak diubah. Sebab, struktur hubungan itu tidaklah sejajar, karena negara-negara maju cenderung bersifat hegemonik dan eksploitatif terhadap mitra-mitranya yang lebih lemah.

Pada dasarnya negara-negara Dunia Ketiga atau yang biasa disebut “negara-negara pinggiran” dalam kapitalisme internasional, memiliki dinamika yang berbeda dari negara-negara maju (Barat). Karena keunikan ini, maka pendekatan yang dipakai juga harus berbeda.

Saya sangat sepakat dengan penjelasan Arief Budiman tentang teori ketergantungan, varian dari teori struktural. Meskipun berporos pada teori struktural yang sangat Marxis, teori ketergantungan sebetulnya merupakan gabungan antara pandangan liberal dan sosialis. Bahkan inti teori ketergantungan adalah sebab utama kemiskinan dan kegagalan pembangunan pada Dunia Ketiga. Bukanlah keterlambatan dalam melakukan modernisasi, tetapi campur tangan negara-negara kapitalis yang menghalangi perkembangan negara-negara itu.

Bicara Pers Indonesia. Saya beranggapan bahwa Pers Indonesia harus segera di Reformasi karena kondisi wartawan Indonesia telah lupa diri. UU Pers yang dianggap sebagai panduan etika jurnalistik rupanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Rupanya, wartawan Indonesia telah menjadi sapi perah oleh kaum kapitalis media. Wartawan Indonesia hanya bisa pasrah, sebab tak mampu bersikap tegas, tak berani memberikan keputusan yang dapat membawa perubahan bagi kesejahteraan wartawan Indonesia. Wratawan Indonesia hanya bisa mengeluh, mencibir, dan kasak-kusuk di belakang, atau bisik-bisik ketika sedang tak ada kesibukan di kantor.

Jika wartawan Indonesia tidak berani me-Reformasi Pers Indonesia, jangan harap wartawan Indonesia bakal sejahtera. Menurut saya, wartawan Indonesia lemah. Tergiur ketika ditawari kekayaan, tak kuat iman saat disodorkan amplop berisi uang oleh narasumber. Apalagi pejabat. Wartawan Indonesia telah kalah oleh uang.

Masalah klasik yang tak pernah usai. Dari jaman orde baru sampai jaman sekarang ini, selalu saja dengan alasan ekonomi. Apakah wartawan selalu dibenturkan oleh uang? Lantas mengapa warga Indonesia lebih memilih menjadi wartawan daripada guru atau pengusaha? Menjadi wartawan tidak untuk menjadi kaya. Menurut hemat saya, menjadi wartawan itu tak mudah, karena wartawan harus berani berjuang tidak hanya untuk dirinya sendiri, keluarganya, namun juga terkhusus untuk kepentingan rakyat lemah tertindas.

Mungkin Anda menilai saya berlebihan. Namun, coba Anda kaji kembali; untuk apakah Anda menjadi wartawan. Mencari kekayaan, penghasilan, proyek, perlindungan, ataukah benar Anda memburu iformasi untuk dijadikan berita? Anda sendiri yang dapat menjawab pertanyaan itu. Namun yang jelas, saya berpendapat bahwa wartawan sejati adalah wartawan yang berani memperjuangkan hak-hak rakyat lemah.

Kini, kebanyakan wartawan Indonesia telah menjadikan budaya “amplop isi uang”, yang nyatanya menjadi bumerang bagi dirinya ketika ada sogokan sejumlah uang dari narasumber. Mungkin tak berupa uang, namun juga berupa proyek dan pekerjaan. Bahkan sebagian media mewajibkan wartawan Indonesia untuk mencari advertorial yang akhirnya akan membuat mereka menjadi wartawan bodrek.

Wartawan Indonesia kini telah “bobrok”, wajar jika saya menganjurkan untuk me-Reformasi Pers Indonesia. Reformasi 1988 saya anggap telah gagal sebab tak berdampak pada perekonomian rakyat lemah, apalagi pada Pers Indonesia, terlebih insan Pers Indonesia. Sangat masuk akal jika wartawan Indonesia masih mendapatkan perilaku tak adil. Karena ulah dari wartawannya sendiri. Wartawan Indonesia telah melacurkan diri karena alasan klasik. Lemahnya ekonomi.

Adam
17/04/2010

Kategori:Uncategorized

Fenomena Gerakan 1998

Perkembangan jaman yang menuntut Indonesia untuk lebih maju ternyata masih harus berhadapan dengan sebuah tirani. Tak heran republik ini melahirkan koruptor-koruptor baru yang terus menindas kebebasan dan kemerdekaan rakyat justru setelah gerakan reformasi 1998 digulirkan.

Reformasi yang saat ini hanya menjadi simbol, bahkan sebuah fenomena gerakan penggulingan terhadap rezim. Mengapa saya katakan seperti itu. Bukankah reformasi kini hanya menjadi topik utama ketika kita bercerita tentang pemberantasan korupsi, mafia peradilan maupun jenis mafia-mafia yang lainnya? Nyatanya, masih banyak kesalahan besar yang selalu dilakukan oleh seluruh rakyat di negeri ini. Tak terkecuali satupun, mulai dari pejabat paling bawah sampai pejabat tinggi. Mulai dari rakyat paling miskin sampai rakyat paling kaya. Mulai dari pengusaha mikro sampai pengusaha makro. Mulai dari guru TK sampai dosen perguruan tinggi. Bahkan mungkin dari seorang Presiden pun kesalahan besar itu bisa juga terjadi.

Maraknya kegiatan korupsi setelah reformasi tentunya membuat geram seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, jika memang pada waktu itu (1998) reformasi benar-benar dilakukan mungkin kondisi republik ini tak seperti sekarang ini. Bayangkan, setelah beberapa tahun semenjak reformasi digulirkan oleh tokoh-tokoh mahasiswa yang ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu, spontan membuat sebagian rakyat Indonesia mengeluh karena reformasi tak menghasilkan apa-apa. Mungkin memang sudah berhasil, tetapi berhasil untuk siapa? Sementara rakyat jelata masih hidup susah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan ekonominya. Ironinya, mereka (rakyat miskin) hanya dapat menikmati nasi angking untuk sekedar menyambung hidup yang kurang menguntungkan.

Rakyat mengeluh, setelah reformasi, mengapa kondisi sekarang justru malah semakin terpuruk. Dimana-mana terjadi chaos. Pembunuhan sadis seperti mutilasi, perampokan disertai kekerasan, penyalahgunaan wewenang, penyesatan agama, penculikan, penjualan anak, bahkan penyelewengan dana Negara, masih kerap terjadi.

Ada beberapa hal yang harusnya kita sadari. Mengapa semenjak reformasi digulirkan pada 1998 lalu tak berdampak pada kesejahteraan rakyat kaum bawah? Apakah ada permainan di balik gerakan reformasi tahun 1998? Atau reformasi hanyalah fenomena kejadian yang tak perlu dikomentari?

Sudah dua belas tahun gerakan reformasi berlalu, sementara rakyat kaum bawah masih terhimpit sebab harga sembako kian melonjak. Namun, bagi mereka yang diuntungkan oleh reformasi, hal itu tak menjadi masalah sebab kondisi ekonomi masih berjalan normal, dan keuntungan masih berpihak, tak beranjak pergi.

Tenarnya Gayus Tambunan pegawai Kantor Pajak Negara yang berhasil menilep uang Negara miliaran rupiah itu spontan membuat seluruh media elektronik dan cetak secara bersamaan silih berganti memberitakan orang-orang yang terkait dengan jaringan si Gayus. Seketika, Gayus Tambunan menjadi artis dadakan yang ketenarannya melebihi seorang artis yang sesungguhnya. Namun ada apa di balik kasus Gayus? Apakah benar ada kong-kalikong pemerintah terhadap media? Atau memang murni kasus itu dicuatkan untuk menegakkan keadilan yang tertunda?

Jika diamati dari bermulanya kasus Antasari mencuat, nampaknya memang ada suatu kejanggalan. Semenjak Antasari dijerat pidana hingga melibatkan beberapa pejabat tinggi pemerintahan dan penegak hukum serta para pengusaha hingga terjadi konflik antar petinggi Polri, saya menilai agak janggal. Mengapa demikian?

Menurut pemberitaan, Antasari adalah korban kasus pembunuhan yang melibatkan beberapa pejabat tinggi pemerintah dan Polri, salah satunya adalah Susno Duadji. Anehnya, justru Antasari diduga menjadi dalang pembunuhan terhadap seorang pengusaha asal Sulawesi itu. Dalam persidangan, Susno Duadji bersaksi membuka tabir apa yang sebenarnya terjadi. Putra Pagaralam itu dengan tegas memberikan informasi kepada pengadilan dengan cerita dan kronologis yang sebenarnya hingga akhirnya Antasari mendapatkan perhatian khusus hingga meringankan beban hukumannya.

Mabes Polri lantas berkomentar, Susno dinilai telah melanggar kode etik Polri karena tanpa sepengetahuan Mabes Polri berani bersaksi di pengadilan, berseragam lengkap dengan pangkatnya. Tak heran jika Mabes Polri kebakaran jenggot karena Susno dianggap berulah. Tak disangka, kesaksian Susno di persidangan kasus Antasari berujung pada konflik intern di tubuh Polri. Bahkan mendadak, nama Susno melejit tenar bak artis naik daun karena kesaksiannya telah menggeret sejumlah pejabat tinggi dan menciptakan tren pemberantasan mafia; mafia hukum, mafia pajak, dan entah besok mafia apalagi. Yang jelas, Susno sedikit banyak telah memberikan inspirasi terhadap rakyat di negeri ini untuk berlaku jujur.

Ketenaran Antasari lambat laun mulai tak populer, sepopuler nama Susno saat ini. Jika kita bicara masalah ketenaran, kini Susno Duadji telah menggantikan posisi ketenaran Antasari. Bahkan tak ada waktu istirahat buat Susno Duadji, karena dirinya selalu di publikasikan oleh seluruh media di negeri ini.

Gayus Tambunan adalah imbas dari kesaksian Susno Duadji terhadap makelar kasus setelah sebelumnya Kapolda Lampung Brigjen Pol Edmon Elyas dicopot Kapolri karena keterlibatannya bermain uang Negara bersama beberapa anggota Polri lainnya. Susno kesal, sebab kesaksiannya tak pernah digubris. Tak kehilangan akal, Susno menebar cinta ke beberapa media, sesembari menerbitkan buku yang di lounching di beberapa kota, salah satunya adalah Palembang, pada beberapa minggu yang lalu, di sebuah keramaian toko buku paling tersohor. Padahal, Mabes Polri telah melayangkan surat panggilan kepada Susno Duadji.

Satu persatu kasus mulai mendapat petunjuk. Para markus kembali mendapat tekanan meskipun tak berarti apa-apa, paling santer, mereka (para pejabat tinggi) hanya mendapat sanksi ringan “mutasi tugas” sebab hukuman berat tak mungkin menjumpai mereka. Benarkah di negeri ini telah terjadi “budaya tipu-tipu”? Menyamarkan kebenaran yang tak seharusnya ditutup-tutupi?

Yang selalu menjadi pertanyaan menarik adalah, Negara ini sebenarnya milik siapa? Kalau jawaban Anda, Negara ini adalah milik rakyat, namun apakah buktinya. Mengapa Negara ini telah dikuasai oleh orang-orang tertentu dengan golongan-golongan tertentu? Padahal seluruh rakyat Indonesia telah menyatakan reformasi total. Lantas, dimana letak reformasi total itu?

Kalau pada waktu itu Amin Rais sepulang dari Amerika menyatakan diri bergabung dengan para mahasiswa untuk me-reformasi total sistem pemerintahan Soeharto, nampaknya hal itu terkesan ada dendam pribadi yang gerakannya belum berdampak pada kesejahteraan rakyat. Terbukti, kenyataannya reformasi tak lain adalah fenomena vandalisme yang berakhir pada pemberontakan kecil-kecilan, meskipun Soeharto tetap saja lengser dari keprabon.

Saya mungkin adalah satu diantara berjuta-juta penduduk Indonesia yang belum setuju dengan gerakan reformasi 1998. Mengapa demikian? Jelas, fenomena reformasi 1998 adalah moment berharga bagi orang-orang tertentu untuk melampiaskan dendam, atau kesempatan emas saatnya memiliki kekuasaan walaupun hanya secuil. Dimana semua orang tak terkecuali pejabat dan orang-orang penting lainnya mempunyai maksud dan tujuan masing-masing untuk menduduki wilayah-wilayah strategis yang dinilai menguntungkan. Obsesi tak pernah berubah, bahkan terkadang rakyat harus menjadi tumbal untuk mewujudkan obsesi itu.

Jika benar gerakan reformasi 1998 murni dilakukan untuk merubah sistem pemerintah yang dinilai bobrok, mengapa dampak gerakan reformasi 1998 justru malah membuat subur korupor-koruptor baru? Mengapa justru melahirkan rezim-rezim baru melebihi rezim Soeharto seperti yang digembar-gemborkan pada gerakan reformasi 1998 lalu. Siapa sangka sekarang negeri ini makmur korupsi. Kini, kejadian 1966 kembali terulang lagi. Bedanya, 1966 mahasiswa melengserkan rezim Soekarno. Tahun 1998, rezim Soeharto di luluh-lantakkan oleh mahasiswa dan kalangan elite, termasuk Amin Rais.

Saya sepakat dengan pemikiran Arief Budiman yang mengatakan bahwa mereka yang masuk ke DPR tidak saja berhadapan dengan romantisme idealistis sebagai pahlawan rakyat, tetapi kini mereka juga berhadapan dengan intensif-intensif pribadi yang bisa menyelewengkan mereka. Justru akan membiaskan perjuangannya terhadap rakyat golongan menengah ke bawah. Tak menutup kemungkinan juga mereka akan berurusan dengan segala penyelewengan yang disebabkan karena kondisi perekonomiannya telah mapan. Padahal, ketika semasa berjuang di jalan berkoar-koar memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggapnya konyol bahkan memusuhi militer, kini lenggang-kangkung, duduk manis terima gaji tiap bulan yang nyatannya tak lagi bersuara koar-koar memusuhi pemerintah. Ironinya, mereka juga tak lagi berjuang untuk kesejahteraan rakyat kaum bawah. Siapa bilang para reformer adalah tokoh pembawa perubahan terhadap bangsa dan negeri ini? Siapa sangka para reformer kini telah hidup nyaman tak lagi memperjuangkan kemerdekaan rakyat kaum bawah.

Semestinya, para reformer harusnya dapat memberikan perubahan total bagi perekonomian rakyat golongan miskin. Surat kabar, televisi, majalah dan media-media pemberitaan, bahkan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pers seharusnya tak melulu berpihak pada kaum kapitalis. Anehnya, saat ini justru banyak kapitalis media yang berperan ikut-ikutan memberitakan kebohongan publik yang mengacu pada keuntungan finansial. Peran mahasiswa dan pers Indonesia tentunya sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk merubah segala kondisi yang makin bobrok. Jika benar peran kedua elemen itu sangat penting, namun mengapa soal kesejahteraan rakyat miskin tak pernah disentuh-sentuh lagi?

Dan saya juga tidak setuju dengan masuknya wakil rakyat mahasiswa ke dalam DPR atau lembaga-lembaga konstitusional lainnya. Tetapi, rasanya kurang bijaksana bila kita meributkan soal setuju dan tidak setuju adanya eksponen-eksponen Mahasiswa di DPR pada saat mereka dilantik. Saya kira sikap yang paling tepat ialah mencari manfaat yang sebesar-besarnya dari keadaan ini.

Rakyat hanya bisa memujanya dalam kenangan. Beginilah hendaknya juga para mahasiswa. Dari bangku kuliah mereka turun ke jalan-jalan, berkeringat, berjaket kumal dengan gagah menentang sang tiran untuk berduel. Dan mereka berhasil. Ketika rakyat mau berterima kasih pada mereka, ternyata mereka telah menghilang dalam ketekunan belajarnya, dengan pakaian yang bersih dan sikap yang sopan, sebagaimana seorang mahasiswa adanya. Rakyat hanya bisa mencatatnya dalam sejarah dengan tinta emas.

OPINI 13/04/2010
HARIAN UMUM SUMSEL POST
OLEH ADAM

Kategori:Uncategorized

Adam

06/08/2010 1 komentar

Lahir dan besar di Yogyakarta pada tanggal 9 Agustus 1976 dari pasangan A. Adjib Hamzah dan Suyatinah. Semasa kecil, Abbas Sani Adham (nama asli) kerap dikenalkan oleh orang tuanya bagaimana mengenal alam dan menghargai orang lain dengan cara menggambar di ruang terbuka. Terkadang Adham kecil seringkali diajak ke pelosok-pelosok desa di kawasan Yogyakarta agar dapat lebih mengenal kaum sudra atau rakyat jelata.

Pada tahun 1995, Adham kecil mulai dipanggil dengan sebutan Griwo atau Sugriwo oleh kawan-kawannya di Malioboro dan sanggar-sanggar seni di Jogja. Kedekatannya terhadap dunia seni Griwo selalu mendapat perhatian khusus dari bapaknya. Entah mengapa perhatian itu tak dirasakannya sewaktu bapaknya masih hidup.

Griwo memang sosok pemuda yang pemberani dan selalu mengutamakan kepentingan orang lain. Bahkan, saudara-saudara kandungnyapun terkadang tak dihiraukan karena lebih memilih peduli dengan orang lain, sementara orang lain justru malah terkadang seringkali membuat kecewa Griwo.

Pada tahun 1996, Griwo mulai aktif bermain musik dengan sahabat dekatnya, Aswin. Kedekatanya dengan musik menyebabkannya kritis dalam berpola pikir. Tak heran jika banyak kawan-kawan dekatnya maupun orang-orang yang mengenalnya menganggap Griwo adalah orang yang peduli terhadap kaum lemah. Bahkan Griwo juga dianggap terlalu kritis dan tajam mengkritisi carut-marut pemerintah Indonesia.

Beberapa tahun kemudian setelah pergerakan 1998, Griwo berubah perilaku; sering menyendiri ke gunung dan banyak membaca buku-buku politik dan sosiologi maupun tetralogi karena Griwo merasa tak ada lagi teman-temannya yang bisa diajak berdiskusi sampai pada akhirnya Griwo juga sempat dikatakan sekuler dan edan oleh keluarganya, terutama oleh kakaknya yang kini aktif di harian Radar Jogja.

Kegelisahan Griwo mengahantarkan kedekatannya pada Sang Ilahi setelah sering membaca buku sejarah para wali di tanah Jawa, sementara buku-buku filsafat modernnya dibakar dan dibuang bahkan ada sebagian yang diberikan pada kawan-kawannya.

Marini Yuniar

Kategori:Uncategorized